Fakta Dunia

7 Sisi Gelap Kerja di Jepang, Bullying hingga Eksploitasi Karyawan

143
×

7 Sisi Gelap Kerja di Jepang, Bullying hingga Eksploitasi Karyawan

Sebarkan artikel ini
sisi Gelap Kerja di Jepang
7 Sisi Gelap Kerja di Jepang, Bullying hingga Eksploitasi Karyawan. Sumber: IST

Halo, Sobat Suka Fakta! Pernah nggak sih kalian berpikir tentang bagaimana kehidupan kerja di Jepang? Negara yang dikenal dengan teknologi canggih dan budaya kerjanya yang super disiplin ini memang sering jadi impian banyak orang. 

Tapi, di balik gemerlapnya, ada sisi gelap kerja di Jepang yang mungkin bikin kalian kaget. Bukan cuma soal budaya kerja keras, tapi lebih dari itu, ada banyak hal yang perlu kalian ketahui sebelum memutuskan untuk bekerja di negeri sakura ini.

Di artikel ini, kita akan bahas lebih dalam tentang sisi gelap kerja di Jepang yang jarang dibicarakan. Jangan sampai kita terjebak hanya melihat sisi indahnya saja tanpa memahami risiko dan tantangannya. Yuk, kita mulai perjalanan ini dan telusuri bersama sisi gelap kerja di Jepang!

1. Banyak Kasus Kematian karena Kelelahan Bekerja 

sisi Gelap Kerja di Jepang
Potret korban yang kelelahan bekerja di Jepang,Takahashi Matsuri. Sumber: Dok. unseen-japan.com

Sobat Suka Fakta, pernah dengar istilah “karoushi”? Istilah ini berasal dari bahasa Jepang yang berarti “kematian karena bekerja berlebihan”. Yup! Di negara ini banyak pekerja yang meninggal dunia karena kelelahan bekerja, benar-benar mengerikan bukan?! 

Meskipun standar jam kerja di Jepang adalah 40 jam per minggu, tapi kenyataannya banyak orang yang bekerja lembur ratusan jam per bulan. Ada yang hanya tidur 3 jam sehari dan bahkan menginap di kantor demi menyelesaikan pekerjaan mereka. Ini bukan sekadar cerita, tapi fakta yang sering terjadi di dunia kerja Jepang.

Beberapa kasus karoushi yang terkenal misalnya insinyur di Nagoya Works yang bunuh diri pada tahun 2012 karena bekerja lembur lebih dari 100 jam per bulan. Ada juga lima karyawan Mitsubishi Electric Corporation yang mengalami gangguan jiwa dan otak akibat jam kerja yang panjang, dua di antaranya bahkan bunuh diri. 

Kasus lainnya adalah Takahashi Matsuri, seorang karyawati Dentsu yang bekerja lembur hingga 105 jam dalam satu bulan dan mengakhiri hidupnya dengan melompat dari jendela asrama. Mengerikan, bukan?!

Dampak dari karoushi tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga oleh keluarga dan masyarakat. Kehilangan anggota keluarga yang dicintai karena tekanan pekerjaan bisa meninggalkan trauma mendalam. 

Pemerintah Jepang memang berusaha memperbaiki kondisi ini dengan membatasi jam lembur, namun mengubah budaya kerja yang sudah mengakar bukanlah hal yang mudah. Jadi, Sobat Suka Fakta, jangan pernah anggap remeh waktu istirahat ya, karena kesehatan mental dan fisik itu penting banget!

2. Black Company, Perusahaan yang Mengeksploitasi Karyawan

Black Company
Potret perusahaan TEPCO. Sumber: Dok. asahi.com

Sobat Suka Fakta, selain karoushi, ada lagi nih istilah yang nggak kalah menyeramkan, yaitu “burakku kigyou” atau black company. Apa itu black company? Ini adalah sebutan untuk perusahaan yang mengeksploitasi karyawannya secara berlebihan. 

Di perusahaan semacam ini, pekerja sering dipaksa lembur tanpa bayaran yang memadai dan mengalami pelecehan verbal maupun fisik. Memang terdengar seperti cerita horor, tapi ini nyata terjadi di Jepang.

Karakteristik burakku kigyou adalah mereka sering mempekerjakan karyawan baru atau kontrak dan memaksa mereka bekerja di luar batas kewajaran. Banyak dari karyawan ini merasa takut kalau kontraknya nggak diperpanjang, sehingga mereka rela disuruh ini itu demi mempertahankan pekerjaan mereka. 

Contoh perusahaan yang terkenal sebagai burakku kigyou antara lain TEPCO, Watami, dan Dentsu. Perusahaan-perusahaan ini seringkali mendapatkan kritik tajam karena cara mereka memperlakukan karyawan.

Mirisnya lagi, meskipun ada rekomendasi dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi kerja, namun praktik burakku kigyou masih sulit dihilangkan. Budaya kerja keras dan persaingan ketat di Jepang membuat banyak pekerja terjebak dalam lingkaran eksploitasi. 

Jadi, penting banget untuk selalu mengecek reputasi perusahaan sebelum melamar pekerjaan di Jepang. Jangan sampai kalian terjebak di perusahaan yang memperlakukan karyawannya dengan tidak manusiawi.

3. Jam Kerja yang Padat dan Tidak Manusiawi

kerja.
Ilustrasi pria sedang bekerja. Sumber: IST

Sobat Suka Fakta, bicara tentang jam kerja di Jepang, pasti kalian langsung terbayang dengan rutinitas yang padat dan melelahkan. Di Jepang, pekerja dikenal dengan disiplin tinggi dan jarang terlambat. 

Namun, dibalik itu, mereka harus bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang. Beda banget sama di Indonesia, di mana keterlambatan kadang dianggap wajar. Di Jepang, terlambat sedikit saja bisa jadi masalah besar.

Jam kerja di Jepang nggak cuma padat, tapi seringkali nggak manusiawi. Banyak pekerja yang harus lembur hingga larut malam dan pulang saat orang lain baru mulai tidur. Bayangin aja, dalam sehari bisa lembur lebih dari 4 jam dan itu dilakukan hampir setiap hari. 

Dampaknya? Tentu saja sangat besar, baik untuk kesehatan fisik maupun mental. Pekerja jadi mudah stres, kelelahan, dan risiko terkena penyakit serius juga meningkat. Perbandingan dengan negara lain juga cukup mencolok. 

Di negara-negara Eropa misalnya, jam kerja lebih diatur dengan baik dan keseimbangan antara kerja dan hidup pribadi juga sangat dijaga. Meskipun di Jepang sudah ada usaha dari pemerintah untuk mengurangi jam kerja berlebihan, namun budaya kerja yang sudah mendarah daging itu membuat perubahan sulit dilakukan. 

4. Praktik Bullying oleh Senior

pembullyan
Ilustrasi pembullyan di perusahaan. Sumber: IST

Sobat Suka Fakta, nggak hanya di sekolah, bullying juga bisa terjadi di tempat kerja, lho! Di Jepang, praktik bullying oleh senior atau yang sering disebut “senpai” terhadap junior cukup umum. 

Senpai ini sering merasa punya kuasa lebih karena mereka lebih lama bekerja di perusahaan tersebut. Bullying ini bisa berupa teguran keras, perlakuan kasar, atau bahkan pengucilan dari lingkungan kerja.

Bullying di tempat kerja bisa berdampak serius terhadap korban. Tidak hanya merusak kesehatan mental, tapi juga menurunkan produktivitas dan semangat kerja. Beberapa korban bullying bahkan merasa tidak betah dan memilih untuk keluar dari pekerjaan mereka. 

Contoh kasus bullying di tempat kerja yang terkenal adalah kasus di perusahaan Mitsubishi Electric, di mana beberapa karyawan mengalami gangguan mental akibat tekanan dan perlakuan kasar dari atasan mereka. 

Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun Jepang dikenal sebagai negara yang sangat disiplin dan profesional, masih ada sisi gelap yang perlu dibenahi. Sobat Suka Fakta, selalu penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan mendukung satu sama lain.

5. Eksploitasi terhadap Karyawan Kontrak dan Paruh Waktu

 tanda tangan Kontrak.
Ilustrasi tanda tangan Kontrak. Sumber: IST

Sobat Suka Fakta, selain karyawan tetap, karyawan kontrak dan paruh waktu juga sering menjadi korban eksploitasi di Jepang, lho. Kondisi kerja mereka seringkali tidak menentu dan bisa dengan mudah dimanfaatkan oleh perusahaan. 

Karyawan kontrak, misalnya, seringkali merasa tertekan karena takut kontrak mereka tidak diperpanjang jika tidak mengikuti semua permintaan atasan. Mereka bisa disuruh lembur tanpa bayaran tambahan dan diperlakukan tidak adil.

Karyawan paruh waktu, yang biasanya adalah mahasiswa atau pekerja yang butuh tambahan penghasilan, juga sering mengalami eksploitasi. Posisi mereka yang tidak memiliki kontrak kerja pasti, membuat mereka bisa diperlakukan semena-mena oleh perusahaan. 

Banyak dari mereka yang bekerja di sektor pelayanan, seperti restoran atau toko, dan sering disuruh bekerja di luar jam kerja yang sudah ditetapkan tanpa bayaran lembur yang layak. Kasus-kasus eksploitasi ini menunjukkan betapa rentannya posisi karyawan kontrak dan paruh waktu di Jepang. 

6. Ada Banyak Problematika di Program Magang

Sobat Suka Fakta, banyak dari kalian mungkin pernah mendengar tentang program magang atau kenshusei di Jepang. Program ini memang menarik karena memberikan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman kerja di Jepang. 

Namun, dibalik itu semua, ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Proses untuk bisa magang di Jepang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Selain harus belajar bahasa Jepang selama beberapa bulan, calon peserta magang juga harus menunggu waktu yang cukup lama hingga mendapat pekerjaan.

Bukan hanya itu, biaya yang diperlukan untuk mengikuti program magang ini juga cukup besar. Untuk bisa lolos seleksi magang pemerintah, banyak yang harus mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk belajar bahasa Jepang di lembaga pelatihan. 

Bahkan, ada yang menghabiskan hingga Rp100 juta rupiah untuk bisa berangkat magang ke Jepang. Kondisi ini tentu sangat memberatkan bagi sebagian besar peserta magang. Gak cuma itu, masalah birokrasi juga menjadi tantangan tersendiri. 

Proses administrasi yang rumit seringkali membuat peserta magang kebingungan. Beberapa peserta magang juga melaporkan adanya praktik kekerasan fisik dan verbal selama mereka magang. Mengejutkannya, kasus pelecehan seksual juga tidak jarang terjadi.

7. Sering Terjadi Pelanggaran Hak dan Kontrak Kerja

 Jepang.
Ilustrasi uang Jepang. Sumber: IST

Sobat Suka Fakta, selain masalah karoushi dan burakku kigyou, pelanggaran hak dan kontrak kerja juga menjadi sisi gelap kerja di Jepang yang perlu diketahui. Banyak perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar gaji sesuai kontrak. 

Beberapa pekerja melaporkan bahwa gaji mereka dipotong dengan alasan yang tidak jelas, seperti biaya asuransi dan pajak yang tidak wajar. Hal ini tentu saja sangat merugikan para pekerja.

Mereka seringkali tidak berani melapor karena takut kehilangan pekerjaan. Padahal, pelanggaran hak seperti ini sangat bertentangan dengan hukum ketenagakerjaan yang berlaku. Pemerintah Jepang memang selalu mengawasi, namun masih banyak perusahaan yang tidak patuh dan terus melakukan praktik yang merugikan para pekerja.

Pelanggaran kontrak kerja juga sering terjadi, terutama di kalangan pekerja ilegal. Oleh karena itu banyak pekerja yang kabur dari perusahaan karena tidak tahan dengan perlakuan yang diterimanya. 

Mereka kemudian hidup sebagai pekerja ilegal tanpa perlindungan hukum dan asuransi. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan menunjukkan betapa pentingnya perlindungan hak-hak pekerja, baik itu pekerja tetap, kontrak, maupun magang.

Kesimpulan

Sobat Suka Fakta, itulah tujuh sisi gelap kerja di Jepang yang terkenal dengan budaya gila kerja. Semua fakta yang telah dibahas ini menunjukkan betapa beratnya dunia kerja di Jepang. 

Yup! Meskipun negara ini dikenal dengan kemajuan teknologinya, tapi ternyata ada banyak masalah yang perlu diperbaiki di dunia kerjanya. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk lebih kritis dalam memilih pekerjaan dan selalu memastikan bahwa kita bekerja di tempat yang menghargai hak-hak pekerja. 

Sobat Suka Fakta, semoga artikel ini bisa memberikan gambaran yang jelas tentang sisi gelap kerja di Jepang. Jangan sampai kita terjebak karena hanya melihat sisi indahnya saja tanpa memahami risiko dan tantangannya, ya! 

REFERENSI

  • Mochammad, A. (2021). Sisi Gelap Dunia Kerja Jepang: Memahami Karoushi dan Burakku Kigyou. Mojok.co. Retrieved from https://mojok.co/terminal/sisi-gelap-dunia-kerja-jepang-memahami-karoushi-dan-burakku-kigyou/
  • Pradana, I. (2022). Sisi Gelap Kerja di Jepang: Inilah Hal yang Harus Kamu Ketahui Sebelum Berangkat ke Jepang. Jurnal Soreang. Retrieved from https://jurnalsoreang.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-1017279932/sisi-gelap-kerja-di-jepang-inilah-hal-yang-harus-kamu-ketahui-sebelum-berangkat-ke-jepang?page=all
  • Lestari, M. (2023). 5 Sisi Gelap Magang di Jepang yang Jarang Diketahui. Mojok.co. Retrieved from https://mojok.co/terminal/5-sisi-gelap-magang-di-jepang-yang-jarang-diketahui/
Sukafakta

SukaFakta adalah website berita yang menyajikan fakta unik, fakta misteri, dan fakta dunia yang menarik dan terpercaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *