Fakta Dunia

Tradisi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta Untuk Akhiri Bulan Ramadhan

×

Tradisi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta Untuk Akhiri Bulan Ramadhan

Sebarkan artikel ini
Tradisi Grebeg Syawal
Tradisi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta untuk Mengakhiri Bulan Ramadhan. Sumber: jogjaaja.com

Halo, Sobat Suka Fakta!  Kalian pasti udah gak asing lagi sama tradisi Islam di berbagai wilayah Indonesia, kan?! Yup! Setelah sebelumnya kita bahas mengenai Tradisi Dugderan yang ada di Semarang untuk menyambut Ramadhan, kini kita akan beranjak ke Yogyakarta dengan membahas tradisi grebeg syawal.

Udah pernah dengar tentang tradisi Grebeg Syawal? Kalau belum, nggak perlu khawatir karena kamu sedang membaca artikel yang tepat! 

Grebeg Syawal ini digelar untuk mengakhiri bulan Ramadhan dan merayakan Hari Raya Idul Fitri. Setiap tahun, acara ini nggak pernah sepi peminat, baik dari warga lokal maupun turis mancanegara. Tradisi ini bukan hanya sekedar ajang kumpul-kumpul, tapi juga cara untuk merayakan berkah setelah sebulan penuh berpuasa.

Penasaran kenapa tradisi Grebeg Syawal ini begitu spesial? Nah, dalam artikel ini kita akan jelajahi sejarah, makna, dan prosesi yang terlibat dalam tradisi penuh budaya dan nilai-nilai religius ini. 

Mulai dari asal usulnya yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai prosesi pembagian gunungan yang selalu dinanti-nanti, semua akan kita bahas tuntas. Jadi, siap untuk tahu lebih banyak? Yuk, kita lanjut ke bagian berikutnya!

[irp]

Asal Usul dan Sejarah Tradisi Grebeg Syawal

Sri Sultan Hamengku Buwono I
Potret Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sumber: id.wikipedia.org

Sobat Suka Fakta, tahu nggak sih kalau tradisi Grebeg Syawal ini sudah ada sejak lama banget? Tradisi ini pertama kali digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, pendiri Keraton Yogyakarta. Jadi, nggak heran kalau tradisi ini begitu kental dengan budaya keraton dan Islam.

Tujuan awal dari Grebeg Syawal adalah untuk menyebarkan ajaran Islam. Saat itu, Sultan ingin menunjukkan bahwa Yogyakarta adalah pusat penyebaran Islam yang kuat. 

Melalui acara Grebeg Syawal, Sultan mengajak masyarakat untuk merayakan Idul Fitri dengan penuh suka cita dan berbagi berkah kepada sesama. Tradisi ini terus dilestarikan hingga sekarang, membuktikan betapa pentingnya nilai-nilai kebersamaan dan keberkahan dalam budaya Yogyakarta.

Makna Tradisi Grebeg Syawal

Gunungan
Potret makanan yang ditumpuk menjadi gunung. Sumber: Suara.com/Arendya

Nah, Sobat Suka Fakta, yang paling ikonik dari Grebeg Syawal adalah gunungannya. Apa sih gunungan itu? Gunungan adalah tumpukan makanan yang disusun menyerupai gunung. 

Gunungan ini terbuat dari berbagai hasil bumi dan makanan yang disusun secara bertingkat. Bentuknya unik dan penuh makna. Gunungan menjadi simbol kemakmuran Keraton Yogyakarta. 

Dengan membagikan gunungan, keraton ingin menunjukkan bahwa hasil bumi yang melimpah ini adalah berkah dari Tuhan yang harus disyukuri dan dibagikan kepada masyarakat. Gunungan juga menjadi simbol kedermawanan Sultan kepada rakyatnya. Dalam tradisi ini, Sultan memberikan sedekah berupa makanan dan hasil bumi, menunjukkan betapa pentingnya berbagi dan peduli terhadap sesama.

Jenis-jenis Upacara Grebeg Syawal di Yogyakarta

Grebeg Syawal
Potret Grebeg Syawal Yogyakarta. Sumber: menpan.go.id

Sobat Suka Fakta, ternyata Grebeg Syawal bukan satu-satunya grebeg yang diadakan di Yogyakarta, lho! Ada tiga jenis upacara grebeg yang digelar setiap tahun di Keraton Yogyakarta, masing-masing dengan keunikan dan maknanya sendiri.

1. Grebeg Syawal

  • Waktu Pelaksanaan: Diadakan pada 1 Syawal, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.
  • Prosesi Gunungan Kakung: Gunungan yang paling besar dan spektakuler dikeluarkan pada saat ini. Bentuknya menyerupai gunung dengan kerangka bambu berbentuk kerucut yang dihiasi makanan secara bertingkat.

2. Grebeg Maulud

  • Waktu Pelaksanaan: Diadakan setiap tanggal 12 pada Bulan Maulud (Rabiulawal) untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
  • Prosesi dan Acara Terkait: Termasuk acara pasar malam Sekaten yang terkenal. Selama tujuh hari, dua perangkat gamelan sekaten milik keraton dimainkan, dan acara puncaknya adalah pembacaan Risalah Maulid Nabi Muhammad SAW oleh Penghulu Keraton.

3. Grebeg Besar

  • Waktu Pelaksanaan: Diadakan pada Hari Raya Idul Adha di Bulan Dzulhijjah.
  • Prosesi Gunungan Khusus: Gunungan yang dibagikan pun berupa gunungan khusus sebagai penghormatan kepada bulan besar Dzulhijjah.

Setiap jenis grebeg ini punya daya tarik dan makna tersendiri yang membuatnya begitu istimewa dan dinantikan oleh masyarakat. Tradisi ini tidak hanya menjadi ajang untuk merayakan hari besar agama, tetapi juga momen untuk memperkuat kebersamaan dan rasa syukur. 

Yuk, kita lanjut ke bagian selanjutnya untuk tahu lebih banyak tentang bagaimana Grebeg Syawal diadakan di tahun 2024 dan apa yang membuatnya begitu spesial!

[irp]

Pelaksanaan Grebeg Syawal Tahun 2024

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
Potret Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Sumber: id.wikipedia.org

Sobat Suka Fakta, tahun 2024 ini Grebeg Syawal di Yogyakarta kembali digelar dengan berbagai penyesuaian yang menarik! Setelah beberapa tahun nggak bisa dirayakan secara meriah karena pandemi, akhirnya tahun ini kita bisa menyaksikan tradisi ini kembali dengan semangat baru.

Pada tahun 2024, Keraton Yogyakarta memutuskan untuk melakukan sedikit perubahan dalam pelaksanaan Grebeg Syawal. Salah satunya adalah kembalinya tradisi pembagian gunungan seperti pada era Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. 

Jika sebelumnya gunungan diperebutkan, kali ini gunungan dibagikan secara merata kepada masyarakat yang hadir. Tujuannya jelas, agar semua orang bisa mendapatkan bagian dan menikmati berkah dari keraton.

Acara Grebeg Syawal tahun ini dilaksanakan di empat lokasi utama, yaitu halaman Masjid Gedhe, Pura Pakualaman, Kompleks Kepatihan, dan Ndalem Mangkubumen. Setiap lokasi ini punya makna tersendiri dalam tradisi keraton. 

Pukul 09.00 WIB, prosesi gunungan mulai keluar dari Keraton menuju Masjid Gedhe. Masyarakat pun sudah siap menyambut sejak pagi, ingin menyaksikan momen istimewa ini.

Prosesi dan Pembagian Gunungan

Masjid Gedhe
Potret Masjid Gedhe. Sumber: liputan6.com

Sobat Suka Fakta, yuk kita ikuti perjalanan gunungan dalam prosesi Grebeg Syawal! Pagi hari, iring-iringan bregada (pasukan keraton) sudah siap dengan segala perlengkapannya. Mereka mengawal gunungan yang akan diarak menuju Masjid Gedhe. 

Ada lima jenis gunungan yang dibawa, yaitu dua Gunungan Kakung, satu Gunungan Estri, satu Gunungan Gepak, satu Gunungan Darat, dan satu Gunungan Pawuhan. Total ada enam gunungan yang akan dibagikan.

Setelah tiba di Masjid Gedhe, gunungan-gunungan tersebut didoakan oleh Kyai Penghulu dan para ulama keraton. Doa-doa ini memohon kebaikan, kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan, dan keselamatan bagi keluarga Sultan dan seluruh rakyatnya. Proses doa ini menjadi momen khusyuk yang mengawali pembagian gunungan.

Sekitar pukul 11.00 WIB, gunungan-gunungan yang sudah didoakan mulai dibagikan ke masing-masing lokasi. Di Masjid Gedhe, suasana penuh dengan keceriaan karena semua orang bisa mendapatkan bagian dari gunungan. 

Di tiga lokasi lainnya, yaitu Pura Pakualaman, Kompleks Kepatihan, dan Ndalem Mangkubumen, pembagian juga berlangsung meriah. Tahun ini, Keraton menambahkan lokasi pembagian di Ndalem Mangkubumen sebagai upaya untuk menghormati tradisi awal.

[irp]

Pandangan dan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Tradisi Grebeg Syawal

Gunungan
Potret Gunungan yang sudah didoakan oleh ulama keraton. Sumber: kabarbumn.com

Sobat Suka Fakta, apa sih yang membuat masyarakat begitu antusias dengan Grebeg Syawal? Selain kemeriahan dan kesempatan untuk berkumpul, ada kepercayaan mendalam yang membuat tradisi ini begitu berarti.

Bagi masyarakat, bagian dari gunungan bukan sekadar makanan biasa. Mereka percaya bahwa setiap bagian dari gunungan yang telah didoakan oleh ulama keraton membawa berkah dan keberuntungan. Misalnya, ada yang menyimpan bagian gunungan di rumah atau tempat usaha dengan harapan mendatangkan rejeki dan keselamatan.

Nyi Mas Hamong Hadiastuti, salah satu abdi dalem yang mendapatkan pareden di Ndalem Mangkubumen, mengungkapkan rasa bangganya mendapatkan berkah dari raja. 

Menurutnya, pareden bisa digunakan sesuai dengan kepercayaan masing-masing, seperti menaruhnya di sawah agar hasil panennya bagus. Senada dengan Nyi Hadi Joyosudiro, ia percaya bahwa menaruh pareden di tempat usahanya akan mendatangkan rejeki dan membuat usahanya lancar.

Tradisi Grebeg Syawal ini memang lebih dari sekadar upacara adat. Ia menjadi momen di mana masyarakat merasakan kehadiran dan kedermawanan Sultan secara langsung. 

Hal tersebut adalah waktu di mana nilai-nilai kebersamaan, syukur, dan saling berbagi benar-benar dirasakan. Momen seperti inilah yang membuat Grebeg Syawal selalu dinanti-nanti setiap tahunnya.

Rangkaian Kegiatan Lain Selama Grebeg Syawal

Gladi Resik Prajurit
Potret salah satu Rangkaian Kegiatan Gladi Resik Prajurit. Sumber: jogja.tribunnews.com

Sobat Suka Fakta, selain prosesi gunungan yang menjadi puncak acara, ternyata ada banyak kegiatan lain yang juga menjadi bagian dari rangkaian Grebeg Syawal. Yuk, kita intip kegiatan seru lainnya yang membuat tradisi ini semakin meriah!

1. Numplak Wajik

Kegiatan pertama yang biasanya dilakukan sebelum Grebeg Syawal adalah Numplak Wajik. Acara ini diadakan beberapa hari sebelum hari puncak Grebeg Syawal. Numplak Wajik adalah prosesi persiapan dan penyusunan gunungan. 

Pada acara ini, semua bahan makanan yang akan dijadikan gunungan disusun dengan rapi dan penuh doa. Numplak Waji menjadi momen penting karena di sinilah gunungan mulai dibentuk dan dihias.

2. Gladi Resik Prajurit

Beberapa hari sebelum Grebeg Syawal, ada juga kegiatan Gladi Resik Prajurit. Gladi Resik Prajurit adalah latihan terakhir bagi para prajurit keraton yang akan ikut dalam prosesi. 

Latihan ini memastikan semua prajurit siap dan tahu peran masing-masing dalam prosesi Grebeg Syawal. Latihan ini juga menjadi ajang untuk mengecek kesiapan perlengkapan dan pakaian tradisional yang akan digunakan.

3. Ringgitan Bedhol Songsong

Selain itu, ada acara Ringgitan Bedhol Songsong yang biasanya diadakan pada malam sebelum Grebeg Syawal. Acara ini adalah ritual pengambilan dan pemasangan payung kebesaran keraton (songsong) yang akan digunakan dalam prosesi. Ritual ini penuh dengan simbolisme dan menunjukkan persiapan keraton untuk acara besar keesokan harinya.

4. Ngabekten

Setelah prosesi Grebeg Syawal, ada acara Ngabekten yang diadakan selama dua hari. Ngabekten adalah acara penghormatan kepada Sultan dan keluarganya. Acara ini biasanya tertutup untuk umum dan hanya dihadiri oleh keluarga keraton dan abdi dalem. Ngabekten menjadi momen penting untuk menunjukkan rasa hormat dan bakti kepada Sultan.

Sob, rangkaian kegiatan ini menunjukkan betapa terorganisir dan terstruktur tradisi Grebeg Syawal. Setiap kegiatan punya makna dan tujuan yang mendalam, memastikan bahwa prosesi Grebeg Syawal berjalan lancar dan penuh makna.

Nilai Budaya dan Keberlanjutan Tradisi Grebeg Syawal

Gunungan Grebeg syawa
Potret Gunungan Grebeg syawal. Sumber: pariwisataindonesia.id

Sobat Suka Fakta, tradisi Grebeg Syawal ini bukan sekadar seremonial tahunan. Ia sarat dengan nilai budaya dan keberlanjutan yang luar biasa. Yuk, kita lihat lebih dekat nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini dan bagaimana keraton menjaga keberlanjutannya.

1. Akulturasi Budaya

Grebeg Syawal mencerminkan akulturasi budaya yang unik antara kepercayaan Islam dan tradisi Jawa. Dalam setiap prosesi, kita bisa melihat bagaimana nilai-nilai religius diselaraskan dengan budaya lokal. Misalnya, penggunaan gunungan sebagai simbol kemakmuran adalah perpaduan antara simbol agraris Jawa dan nilai-nilai sedekah dalam Islam.

2. Wujud Syukur dan Kedermawanan

Tradisi ini juga menjadi wujud syukur dan kedermawanan Sultan kepada rakyatnya. Dengan membagikan hasil bumi yang melimpah, Sultan menunjukkan bahwa berkah yang diterima harus dibagikan kepada sesama. Ini adalah pelajaran penting tentang pentingnya berbagi dan peduli terhadap sesama, terutama di momen-momen penting seperti Idul Fitri.

3. Keberlanjutan Tradisi

Keraton Yogyakarta sangat menjaga keberlanjutan tradisi ini. Meskipun ada beberapa penyesuaian dalam pelaksanaan, esensi dan makna dari Grebeg Syawal tetap dijaga. Misalnya, perubahan dari perebutan gunungan menjadi pembagian yang lebih tertib menunjukkan adaptasi terhadap kondisi zaman tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisi.

4. Dampak Positif bagi Masyarakat dan Pariwisata

Grebeg Syawal juga membawa dampak positif bagi masyarakat dan pariwisata Yogyakarta. Tradisi ini menarik banyak wisatawan, baik domestik maupun mancanegara yang ingin menyaksikan kemeriahan dan keunikan acara ini. Selain itu, masyarakat lokal juga merasakan manfaat ekonomi dari kedatangan wisatawan yang meningkat selama periode ini.

Kesimpulannya, tradisi Grebeg Syawal adalah salah satu contoh bagaimana budaya dan agama bisa berpadu harmonis, menciptakan momen penuh makna yang dinantikan setiap tahunnya. 

Dengan menjaga dan melestarikan tradisi ini, kita tidak hanya merawat warisan budaya, tetapi juga menanamkan nilai-nilai penting tentang kebersamaan, syukur, dan kedermawanan.

[irp]

Kesimpulan 

Setelah kita eksplorasi bersama tentang tradisi Grebeg Syawal, pastinya kita bisa melihat betapa kaya dan bermaknanya tradisi ini bagi masyarakat Yogyakarta. Tradisi Grebeg Syawal bukan hanya sekedar acara tahunan, tapi juga simbol kebersamaan, kedermawanan, dan syukur yang mendalam.

Grebeg Syawal memiliki nilai historis yang sangat kuat. Dimulai dari gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono I, tradisi ini telah bertahan selama ratusan tahun dan tetap menjadi bagian integral dari budaya Yogyakarta.

Tradisi ini juga membawa dampak positif yang signifikan. Bagi masyarakat, ini adalah momen untuk merayakan keberkahan dan berkumpul bersama. Bagi pariwisata, Grebeg Syawal adalah daya tarik yang memperkaya pengalaman wisatawan yang datang ke Yogyakarta.

Melalui Grebeg Syawal, kita belajar tentang pentingnya berbagi dan peduli terhadap sesama. Gunungan yang dibagikan adalah simbol kedermawanan Sultan kepada rakyatnya, menunjukkan bahwa berkah yang diterima harus disebarkan ke semua orang. 

Keraton Yogyakarta menunjukkan bahwa tradisi bisa tetap relevan dengan melakukan penyesuaian tanpa menghilangkan esensinya. Perubahan dalam tata cara pembagian gunungan adalah contoh bagaimana tradisi bisa beradaptasi dengan kondisi zaman, memastikan bahwa nilai-nilai inti tetap terjaga.

Jadi, Sobat Suka Fakta, tradisi Grebeg Syawal adalah lebih dari sekedar acara meriah. Ia adalah simbol dari nilai-nilai yang mendalam dan pelajaran penting tentang kebersamaan, syukur, dan kedermawanan. Mari kita jaga dan lestarikan tradisi ini agar terus memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi masyarakat Yogyakarta dan semua yang menyaksikannya.

Terima kasih sudah mengikuti pembahasan kita tentang Grebeg Syawal. Sampai jumpa di artikel menarik lainnya, Sobat Suka Fakta!

[irp]

REFERENSI

  • Pesona Indonesia. (2019, 20 Oktober). Mengenal Tradisi Grebeg, Peringatan Hari Besar Islam di Yogyakarta. Diakses dari https://pesonaindonesia.kompas.com/read/2019/10/20/131800427/mengenal-tradisi-grebeg-peringatan-hari-besar-islam-di-yogyakarta.
  • JogjaProv. (2024, 11 April). Kembali Ke Tradisi Awal, Grebeg Syawal Tetap Dinanti. Diakses dari https://jogjaprov.go.id/berita/kembali-ke-tradisi-awal-grebeg-syawal-tetap-dinanti.
  • Solopos. (2023, 22 April). Mengenal Tradisi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta yang Sarat Makna. Diakses dari https://jogja.solopos.com/mengenal-tradisi-grebeg-syawal-keraton-yogyakarta-yang-sarat-makna-1606384.
  • Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia. (2019, 5 Juni). Mengenal Grebeg Syawal, Tradisi Keraton Yogyakarta di Hari Lebaran. Diakses dari https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/mengenal-grebeg-syawal-tradisi-keraton-yogyakarta-di-hari-lebaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *